Jumat, 20 Juli 2012

Pergolakan " Tidak Setuju " dalam Regulasi Baru SNMPTN 2013



Inilah penggalan penolakan yang dikatakan oleh Prof Eko Budihardjo dari Universitas Diponegoro mengenai kebijakan anyar pada SNMPTN 2013 mendatang.

            Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menghapus jalur tulis dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun depan. Kuota SNMPTN hanya melalui jalur undangan. Yaitu SNMPTN dengan pagu 60 persen dari total kuota nasional, dan seleksi jalur mandiri dengan pagu 40 persen.
Mantan rektor ITB itu menegaskan, pagu 60 persen untuk SNMPTN tadi dilaksanakan dengan jalur undangan semuanya. “Untuk yang jalur mandiri (40 persen dari kuota, red) kita serahkan ke majelis rektor,” ucap Djoko. Nantinya seluruh kampus negeri melalui majelis rektor diberi wewenang untuk mengelola, apakah sebagian dari pagu seleksi mandiri akan dipakai jalur tulis secara nasional atau digabung sekalian dengan jalur undangan. Djoko mengingatkan, pagu 60 persen untuk SNMPTN itu adalah batas bawah atau minimum. Artinya, jalur SNMPTN ini boleh lebih dari pagu yang ditetapkan itu. Sedangkan pagu 40 persen untuk jalur mandiri itu adalah batas atas.
Kebijakan baru yang santer terdengar ini rupanya banyak menuai protes keras masyarakat. Bagaimana tidak, regulasi anyar ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai bentuk ketidakadilan dikancah pendidikan tinggi. Jika kebijakan baru ini benar-benar terealisasi akan banyak gelombang aksi yang menolak keras kebijakan ini seantero nusantara.
Perubahan formasi pada SNMPTN 2013 yang nantinya akan menyerap mahasiswa baru melalui jalur undangan saja dan dibebaskan biaya, sekilas memang mempermudah langkah para lulusan SMA dan sederajat untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi negeri. Namun, saya mewakili sebagian besar masyarakat, pelajar dan pemerhati pendidikan menolak keras kebijakan baru ini, karena saya menilai masih banyak hal kasar yang belum diperhatikan dan terurusi dengan becus.
Sistem baru ini tentu akan meningkatkan jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas ( SMA dan sederajat ) yang akan diterima di Perguruan Tinggi Negeri ( PTN ), tapi jelas akan menurunkan kualitas lulusan yang diterima di PTN. Ini bisa dipahami dengan seksama, mengingat SNMPTN 2013 yang hanya mengandalkan nilai raport semester 3, 4 dan 5 serta dengan adanya integrasi dengan nilai Ujian Nasional ( UN ). Dalam banyak kasus sejak UN digulirkan, hingga kini pemerintah belum becus menata ulang penyelenggaraan UN yang penuh dengan kecurangan. Jika benar, SNMPTN 2013 akan diintegrasikan dengan nilai UN, sama saja pemerintah membuka lebar praktik kecurangan UN dibanyak lini. Simak video berikut http://youtu.be/3AbsJJA3EFE.
Selain itu, kebijakan seperti ini akan semakin mempersempit ruang siswa difabel untuk melanjutkan studi dan mewujudkan mimpinya. Dalam penyelenggaraan UN tahun lalu saja, siswa difabel sudah cukup dirugikan karena semua paket soal UN yang diujikan ternyata tidak ada yang dibuat menggunakan huruf braile. Secara otomatis, para pengawas membacakan satu persatu soal, dan ini sangat sulit dimengerti oleh mereka karena para pengawas belum memahami karakter masing-masing siswa ( difabel ). Simak dalam video berikut http://youtu.be/Hk5tvISXsO8.
Dihapusnya Ujian Tulis pada SNMPTN tahun mendatang dinilai akan menghilangkan semangat dan kesempatan bagi lulusan sebelumnya belum beruntung menjajaki kampus impiannya dan akan semakin memperkecil mereka masuk ke PTN. Hal semacam ini juga dapat dipahami, kita ambil contoh Institiut Teknologi Bandung yang pada kesempatan SNMPTN 2012 ini mengambil kebijakan penerimaaan mahasiswa baru dengan pagu 60% Undangan dan 40% saja melalui Ujian Tulis, sedangkan USM-ITB yang beberapa tahun lalu masih diselenggarakan sudah dihapus. Padahal tahun 2012, pagu yang ditetapkan hanya 35% lewat jalur Undangan, namun ITB justru mengambil kebijakan dengan memberlakukan 60% jalur undangan. Bila tahun depan akan sesuai rencana maka ITB akan memberlakukan 100% lewat jalur undangan, mengingat USM-ITB kemungkinan besar tidak akan dibuka lagi. Ada fakta lain yang cukup membebani calon maba nantinya. Jika dengan adanya Ujian Tulis yang serentak secara Nasional, calon maba cukup mengeluarkan biaya Rp. 150.000 – Rp. 175.000  saja, kemungkinan besar tahun mendatang siswa akan mengeluarkan biaya yang lebih besar dari itu. Biaya Ujian Mandiri ditiap Perguruan Tinggi tidaklah sama, berkisar diatas Rp.250.000 per ujian. Jika siswa gagal di Ujian Mandiri PTN pertama dan mencoba Ujian Mandiri di PTN kedua dan seterunya, maka bisa dihitung berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan nantinya hanya untuk mengikuti ujian masuk, jelas ini sebuah pemborosan. Ditambah lagi, jika siswa diterima melalui Ujian Mandiri maka ia harus menangggung biaya pendidikan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan ia masuk PTN tersebut melalui ujian yang diselenggarakan oleh pemerintah. Selain itu,  jika ada satu diantara mereka yang diterima melalui jalur mandiri namun karena ketidakmampuan ekonomi akhirnya terpaksa melepas bangku kuliahnya, tentu sisa bangku tersebut menjadi wewenang pihak kampus. Jelas, disini akan terlihat indikasi adanya praktik jual beli bangku kuliah, karena tentu saja pihak kampus tidak mau merugi dengan sisa bangku tersebut mengingat PTN sekarang sudah bukan lagi bagian dari BUMN dan tidak ada lagi pengawasan dari pemerintah karena jalur mandiri sepenuhnya wewenang pihak kampus.
Regulasi baru ini juga cukup berimbas pada mereka yang masih duduk dibangku kelas X dan kelas XI. Tentu mereka akan mempersiapkan diri secara maksimal untuk mendapatkan nilai terbaik di raportnya kelak. Ada pihak yang diuntungkan, guru dan bimbel. Seorang guru dapat saja mengkatrol nilai muridnya dengan syarat tertentu ( suap ). Meski aturan melarang guru mengkatrol nilai muridnya, namun tetap saja “ manusia lebih cerdik dari aturan yang dibuatnya ”. Selain itu, bimbel juga akan kebanjiran pelamar  yang mendaftarkan diri demi meraih nilai terbaik dikelasnya, mengingat aturan jalur undangan tiap sekolah berbeda-beda tergantung akreditasi sekolah tersebut. Hadirnya bimbel seperti memberikan angin segar bagi mereka, namun disisi lain mereka ( calon mahsiswa ) akan tercetak sebagai anak bimbel bukan anak sekolah yang hanya akan jago ketika dihadapkan dengan beribu soal tapi tumpul ketika dihadapkan dengan sebuah konsep yang tidak mereka dapatkan di bimbel.
Satu hal lagi yang hampir saja terlewatkan, dalam sistem jalur undangan yang dilhat adalah peringkat si siswa dikelasnya. Tentu bagi sekolah yang tidak bersertifikasi khusus ada pembedaan. Gampangnya, mereka yang menduduki peringkat 1 – 20 di sekolah reguler berakreditasi A akan jauh berbeda dengan mereka yang bersekolah berakreditasi A dan RSBI pula. Nilai standar 8 misalkan di sekolah reguler akan terkesan “ wah ” namun jika itu berlaku di RSBI akan terkesan biasa saja. Tentu saja dari pengalaman jalur undangan yang sudah-sudah, mereka yang bersekolah di RSBI akan mempunyai kesempatan lebih agar bisa diterima di PTN, dan mereka yang bersekolah berlabel reguler/mandiri akan lebih bersabar jika tidak diterima melalui jalur undangan. So, apakah anda melihat adanya kesenjangan pendidikan di negeri ini ? Mereka yang hidup jauh di pelosok dan bersekolah di tempat yang biasa saja akan sangat sulit mewujudkan mimpinya berkuliah di UI, ITB, UGM, dan kampus favorit lainnya, tapi jangan tanya dengan mereka yang bersekolah di kota, berlabel RSBI dan mendapat kesempatan mengikuti bimbel full selama tiga tahun. Masalah yang cukup dilematis dan benar terjadi di negeri ini. Kalau kebijakan ini benar-benar diterapkan dengan menghapus ujian tulis, saya tidak yakin bila outputnya nanti akan mampu berdaya saing.
Jika memang benar, kebijakan tersebut dinilai pantas diterapkan pada tahun mendatang, ini akan menjadi “ karpet merah “ bagi kecurangan-kecurangan dilingkup sekolah, UN dan sektor lainnya. Sekali lagi, ini merupakan bagian dari upaya pemerintah yang dipandang tidak mengintergrasikan antara kebijakan dengan realita yang terjadi. ( ECCorp)

Video referensi bagaimana potret pendidikan di Indonesia mulai pendidikan tingkat menengah hingga pendidikan tinggi :




Locations of visitors to this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar