Inilah penggalan penolakan yang dikatakan oleh Prof Eko Budihardjo dari Universitas Diponegoro mengenai kebijakan anyar pada SNMPTN 2013 mendatang.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menghapus jalur tulis dalam
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun depan. Kuota
SNMPTN hanya melalui jalur undangan. Yaitu SNMPTN dengan pagu 60 persen dari total kuota nasional,
dan seleksi jalur mandiri dengan pagu 40 persen.
Mantan rektor ITB itu menegaskan, pagu 60 persen untuk SNMPTN
tadi dilaksanakan dengan jalur undangan semuanya. “Untuk yang jalur
mandiri (40 persen dari kuota, red) kita serahkan ke majelis rektor,”
ucap Djoko. Nantinya seluruh kampus negeri melalui majelis rektor
diberi wewenang untuk mengelola, apakah sebagian dari pagu seleksi
mandiri akan dipakai jalur tulis secara nasional atau digabung sekalian
dengan jalur undangan. Djoko mengingatkan, pagu 60 persen untuk
SNMPTN itu adalah batas bawah atau minimum. Artinya, jalur SNMPTN ini
boleh lebih dari pagu yang ditetapkan itu. Sedangkan pagu 40 persen untuk
jalur mandiri itu adalah batas atas.
Kebijakan baru yang santer terdengar ini rupanya banyak menuai
protes keras masyarakat. Bagaimana tidak, regulasi anyar ini dinilai oleh
sebagian kalangan sebagai bentuk ketidakadilan dikancah pendidikan tinggi. Jika
kebijakan baru ini benar-benar terealisasi akan banyak gelombang aksi yang
menolak keras kebijakan ini seantero nusantara.
Perubahan formasi pada SNMPTN 2013 yang nantinya akan menyerap
mahasiswa baru melalui jalur undangan saja dan dibebaskan biaya, sekilas memang
mempermudah langkah para lulusan SMA dan sederajat untuk melanjutkan studinya
ke perguruan tinggi negeri. Namun, saya mewakili sebagian besar masyarakat,
pelajar dan pemerhati pendidikan menolak keras kebijakan baru ini, karena saya
menilai masih banyak hal kasar yang belum diperhatikan dan terurusi dengan
becus.
Sistem baru ini tentu akan meningkatkan jumlah lulusan Sekolah
Menengah Atas ( SMA dan sederajat ) yang akan diterima di Perguruan Tinggi
Negeri ( PTN ), tapi jelas akan menurunkan kualitas lulusan yang diterima di
PTN. Ini bisa dipahami dengan seksama, mengingat SNMPTN 2013 yang hanya
mengandalkan nilai raport semester 3, 4 dan 5 serta dengan adanya integrasi
dengan nilai Ujian Nasional ( UN ). Dalam banyak kasus sejak UN digulirkan,
hingga kini pemerintah belum becus menata ulang penyelenggaraan UN yang penuh
dengan kecurangan. Jika benar, SNMPTN 2013 akan diintegrasikan dengan nilai UN,
sama saja pemerintah membuka lebar praktik kecurangan UN dibanyak lini. Simak
video berikut http://youtu.be/3AbsJJA3EFE.
Selain itu, kebijakan seperti ini akan semakin mempersempit
ruang siswa difabel untuk melanjutkan studi dan mewujudkan mimpinya. Dalam
penyelenggaraan UN tahun lalu saja, siswa difabel sudah cukup dirugikan karena
semua paket soal UN yang diujikan ternyata tidak ada yang dibuat menggunakan
huruf braile. Secara otomatis, para pengawas membacakan satu persatu soal, dan
ini sangat sulit dimengerti oleh mereka karena para pengawas belum memahami
karakter masing-masing siswa ( difabel ). Simak dalam video berikut http://youtu.be/Hk5tvISXsO8.
Dihapusnya Ujian Tulis pada SNMPTN tahun mendatang dinilai akan
menghilangkan semangat dan kesempatan bagi lulusan sebelumnya belum beruntung
menjajaki kampus impiannya dan akan semakin memperkecil mereka masuk ke PTN.
Hal semacam ini juga dapat dipahami, kita ambil contoh Institiut Teknologi
Bandung yang pada kesempatan SNMPTN 2012 ini mengambil kebijakan penerimaaan
mahasiswa baru dengan pagu 60% Undangan dan 40% saja melalui Ujian Tulis,
sedangkan USM-ITB yang beberapa tahun lalu masih diselenggarakan sudah dihapus.
Padahal tahun 2012, pagu yang ditetapkan hanya 35% lewat jalur Undangan, namun
ITB justru mengambil kebijakan dengan memberlakukan 60% jalur undangan. Bila
tahun depan akan sesuai rencana maka ITB akan memberlakukan 100% lewat jalur
undangan, mengingat USM-ITB kemungkinan besar tidak akan dibuka lagi. Ada fakta
lain yang cukup membebani calon maba nantinya. Jika dengan adanya Ujian Tulis
yang serentak secara Nasional, calon maba cukup mengeluarkan biaya Rp. 150.000
– Rp. 175.000 saja, kemungkinan besar
tahun mendatang siswa akan mengeluarkan biaya yang lebih besar dari itu. Biaya
Ujian Mandiri ditiap Perguruan Tinggi tidaklah sama, berkisar diatas Rp.250.000
per ujian. Jika siswa gagal di Ujian Mandiri PTN pertama dan mencoba Ujian
Mandiri di PTN kedua dan seterunya, maka bisa dihitung berapa banyak biaya yang
harus dikeluarkan nantinya hanya untuk mengikuti ujian masuk, jelas ini sebuah
pemborosan. Ditambah lagi, jika siswa diterima melalui Ujian Mandiri maka ia
harus menangggung biaya pendidikan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan ia
masuk PTN tersebut melalui ujian yang diselenggarakan oleh pemerintah. Selain
itu, jika ada satu diantara mereka yang
diterima melalui jalur mandiri namun karena ketidakmampuan ekonomi akhirnya
terpaksa melepas bangku kuliahnya, tentu sisa bangku tersebut menjadi wewenang
pihak kampus. Jelas, disini akan terlihat indikasi adanya praktik jual beli
bangku kuliah, karena tentu saja pihak kampus tidak mau merugi dengan sisa
bangku tersebut mengingat PTN sekarang sudah bukan lagi bagian dari BUMN dan
tidak ada lagi pengawasan dari pemerintah karena jalur mandiri sepenuhnya
wewenang pihak kampus.
Regulasi baru ini juga cukup berimbas pada mereka yang masih
duduk dibangku kelas X dan kelas XI. Tentu mereka akan mempersiapkan diri
secara maksimal untuk mendapatkan nilai terbaik di raportnya kelak. Ada pihak
yang diuntungkan, guru dan bimbel. Seorang guru dapat saja mengkatrol nilai
muridnya dengan syarat tertentu ( suap ). Meski aturan melarang guru mengkatrol
nilai muridnya, namun tetap saja “ manusia lebih cerdik dari aturan yang
dibuatnya ”. Selain itu, bimbel juga akan kebanjiran pelamar yang mendaftarkan diri demi meraih nilai
terbaik dikelasnya, mengingat aturan jalur undangan tiap sekolah berbeda-beda
tergantung akreditasi sekolah tersebut. Hadirnya bimbel seperti memberikan
angin segar bagi mereka, namun disisi lain mereka ( calon mahsiswa ) akan
tercetak sebagai anak bimbel bukan anak sekolah yang hanya akan jago ketika
dihadapkan dengan beribu soal tapi tumpul ketika dihadapkan dengan sebuah
konsep yang tidak mereka dapatkan di bimbel.
Satu hal lagi yang hampir saja terlewatkan, dalam sistem jalur
undangan yang dilhat adalah peringkat si siswa dikelasnya. Tentu bagi sekolah
yang tidak bersertifikasi khusus ada pembedaan. Gampangnya, mereka yang
menduduki peringkat 1 – 20 di sekolah reguler berakreditasi A akan jauh berbeda
dengan mereka yang bersekolah berakreditasi A dan RSBI pula. Nilai standar 8
misalkan di sekolah reguler akan terkesan “ wah ” namun jika itu berlaku di
RSBI akan terkesan biasa saja. Tentu saja dari pengalaman jalur undangan yang
sudah-sudah, mereka yang bersekolah di RSBI akan mempunyai kesempatan lebih
agar bisa diterima di PTN, dan mereka yang bersekolah berlabel reguler/mandiri
akan lebih bersabar jika tidak diterima melalui jalur undangan. So, apakah anda
melihat adanya kesenjangan pendidikan di negeri ini ? Mereka yang hidup jauh di
pelosok dan bersekolah di tempat yang biasa saja akan sangat sulit mewujudkan
mimpinya berkuliah di UI, ITB, UGM, dan kampus favorit lainnya, tapi jangan
tanya dengan mereka yang bersekolah di kota, berlabel RSBI dan mendapat
kesempatan mengikuti bimbel full selama tiga tahun. Masalah yang cukup
dilematis dan benar terjadi di negeri ini. Kalau kebijakan ini benar-benar
diterapkan dengan menghapus ujian tulis, saya tidak yakin bila outputnya nanti
akan mampu berdaya saing.
Jika memang benar, kebijakan tersebut dinilai pantas diterapkan
pada tahun mendatang, ini akan menjadi “ karpet merah “ bagi
kecurangan-kecurangan dilingkup sekolah, UN dan sektor lainnya. Sekali lagi,
ini merupakan bagian dari upaya pemerintah yang dipandang tidak
mengintergrasikan antara kebijakan dengan realita yang terjadi. ( ECCorp)
Video referensi bagaimana potret pendidikan di Indonesia mulai pendidikan tingkat menengah hingga pendidikan tinggi :
Video referensi bagaimana potret pendidikan di Indonesia mulai pendidikan tingkat menengah hingga pendidikan tinggi :